Kekejaman Rezim Militer Mesir, Pasien Gaza Semakin Menderita
Related Posts
YOGYAKARTA, Selasa (Electronic Intifada): Pengetatan kembali kepungan terhadap Jalur Gaza yang dilakukan rezim militer Mesir mulai dirasakan berat dampaknya oleh warga masyarakat. Kelompok paling rentan adalah para penderita berbagai penyakit. Orang-orang yang hendak pergi untuk berobat ke luar Gaza menjadi sangat menderita. Kementerian Kesehatan Otoritas Palestina secara rutin merekomendasi pasien di Gaza untuk berobat ke rumah sakit-rumah sakit di Mesir atau ‘israel’ karena minimnya fasilitas kesehatan di Gaza.
Bulan Juli, Kantor kemanusiaan dan hak azasi manusia PBB, OCHA melaporkan terdapat 131 pasien dimana 22 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 17 tahun yang direkomendasi kementerian kesehatan untuk berobat di Mesir. Jumlah ini separuh dari jumlah biasanya.
Sebagaimana telah banyak diberitakan, sejak kembali berkuasa, militer Mesir telah menghancurkan rumah-rumah dan terowongan logistik sepanjang perbatasan Gaza-Mesir. Dalam laporannya tanggal 23 Agustus itu, OCHA juga melaporkan meningkatnya tindak kekerasan ‘israel’ terhadap para nelayan Gaza sampai dua kali lipat selama paruh pertama tahun ini.
Sejak Presiden Mesir terpilih Muhammad Mursi dikudeta pada 3 Juli, otoritas Mesir menutup terminal Rafah yang berbatasan dengan Gaza dalam waktu yang lama. “Rata-rata jumlah orang yang melewati terminal itu pada bulan Juli hanya 540 orang, kurang dari 30% dari jumlah yang melintas pada Juni lalu sebanyak 1.850 orang,” sebut laporan OCHA.
“Terminal itu merupakan pintu keluar masuk yang utama ke Jalur Gaza bagi warga Palestina karena pembatasan yang dilakukan ‘israel’ di penyeberangan Erez.” Mesir membenarkan penutupan terminal Rafah itu dengan berpatokan pada tuduhan-tuduhan palsu dan tak berdasar terhadap rakyat Palestina serta mengklaim bahwa Hamas dan warga Gaza terlibat dalam konflik di Mesir.
Pasien
Pengetatan yang dilakukan Mesir itu tidak dikompensasi dengan kelonggaran perizinan di penyeberangan Erez sehingga pasien terpaksa menunda pengobatannya. Mengajukan izin untuk bepergian lewat penyeberangan Erez saat ini masih sulit dan mengerikan bagi warga Palestina.
“Pasien usia 18-40 tahun, khususnya pria, paling sering diinterogasi oleh keamanan ‘israel’ sebagai bagian dari proses pengajuan izin keluar lewat Erez. Orang yang menemani juga harus mengajukan izin dan diinterogasi juga,” sebut OCHA.
‘Israel’ juga kerap memeras pasien Palestina dengan memintanya menjadi mata-mata kalau mau permohonan izinnya dikabulkan. Selain para pasien, ribuan pelajar dan para turis juga menghadapi penundaan yang lama atau bahkan sama sekali tidak bisa pergi.
Stok Obat Habis
Sejak kudeta militer di Mesir, OCHA melaporkan, Kementerian Kesehatan di Gaza terpaksa membatasi pelayanan X-Ray dan penggunaan obat akibat minimnya stok. Masuknya pasokan lewat terminal Rafah tidak lagi bisa diandalkan. Pada akhir Juli, “Sekitar 27% (128 item) obat-obatan penting tidak ada stoknya di toko obat pusat di Gaza dan 16% (78 item) obat-obatan stoknya menipis (diperkirakan hanya cukup untuk 1-3 bulan).”
OCHA juga menyebutkan, “25% pasokan obat di Gaza biasanya berasal dari atau dikirim lewat Mesir dan melalui penyeberangannya.”
Dua donor utama Mesir, Arab Physicians Union dan the Physicians Syndicate telah diminta menghentikan donasinya ke Gaza mengingat kebutuhan medesak di Mesir. Kedua organisasi ini memainkan peran penting sebagai sumber pasokan barang-barang seperti fasilitas cuci darah, obat-obatan kemoterapi, obat hemofilia, obat untuk pasien gagal ginjal serta perawatan untuk penyakit darah kronis lainnya.
Kesenjangan berkelanjutan atas setiap obat-obatan ini akan segera berdampak negatif terhadap pasien. The Human Appeal International (Uni Emirat Arab) dan Palang Merah Qatar juga memberikan bantuan ke Departemen Kesehatan (Depkes) di Gaza via Rafah tapi menurut keterangan Depkes, baru sekali pengiriman obat-obatan yang diterima sejak 30 Juni lalu.
Pembangunan Berhenti
Mesir telah mengintesifkan upaya penghancuran terowongan-terowongan yang berada di bawah perbatasan Jalur Gaza dan Mesir. Padahal terowongan-terowongan ini merupakan jalur vital bagi perekonomian Gaza. OCHA menyebutkan, akibat blokade ‘israel’, terowongan-terowongan itu masih menjadi jalan utama untuk membawa barang-barang material ke Jalur Gaza.
Bulan Juli, upaya-upaya yang dilakukan Mesir di antaranya, menghancurkan dan membanjiri terowongan, pengerahan pasukan keamanan dan memberlakukan pembatasan akses menuju wilayah terowongan.
OCHA melaporkan, “Federasi Industri Palestina memperkirakan sekitar 1.500 ton bahan material masuk ke Gaza lewat terowongan setiap harinya. Jumlah ini menurun drastis dibandingkan sebelum adanya pembatasan, yakni 7.500 ton sehari. Harga-harga material di pasar lokal naik tajam sebelumnya turun kembali sekitar 20-30% di bawah harga normal beberapa bulan lalu. Hal ini berujung pada penurunan tajam kegiatan pembangunan dan pengoperasian pabrik pencampuran beton.”
Penghancuran terowongan juga memicu krisis bahan bakar yang parah. Di tengah semua situasi ini, ‘israel’ menyebarkan berita bohong tentang situasi Gaza. Agustus kemarin, militer ‘israel’ mempublikasikan foto sebuah mall mewah yang mereka klaim berada di Gaza. Padahal foto yang dipublikasikan itu adalah foto sebuah mall di Malaysia.
Serangan terhadap Nelayan
Berdasarkan perjanjian Oslo 1993, warga Palestina boleh melaut hingga 20 mil laut dari perairan Gaza. Namun ‘israel’ secara sepihak memotongnya menjadi hanya tiga mil laut. Sejak dicapai kesepakatan gencatan senjata setelah serangan ‘’israel’ di Gaza pada November 2012, ‘israel’ semakin gencar menyerang nelayan-nelayan Gaza.
Menurut data OCHA, “Jumlah pelanggaran sepanjang paruh pertama 2013 dalam hal pembatasan akses melaut yang ditetapkan angkatan laut ‘israel’, meningkat tajam dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (Juli-Desember 2012).”
Insiden tersebut, termasuk aksi penembakan yang naik dua kali lipat (95 kejadian, dibandingkan periode sebelumnya 43 insiden), penyerangan hingga melukai nelayan (lima nelayan tercatat terluka. Periode yang sama tahun sebelumnya tidak ada), perusakan dan penghancuran peralatan nelayan (paruh pertama 2013 ada 12 kejadian, periode sebelumnya hanya dua insiden).
Sementara itu, jumlah nelayan yang ditangkap pada paruh pertama 2013 mencapai 13 orang, turun dari periode sebelumnya yang sebanyak 42 orang. Insiden penyitaan kapal juga menurun menjadi tiga insiden dari sebelumnya tujuh kejadian.
Sementara jumlah insiden kapal yang dihancurkan tidak berbeda jauh dengan periode sebelumnya, yakni delapan insiden pada paruh pertama 2013 dan sembilan kejadian pada periode 2012.
Selain oleh ‘israel’, serangan terhadap para nelayan Gaza juga sekarang dilakukan oleh perahu-perahu bersenjata Mesir. Belum lama ini mereka menembaki kapal nelayan Palestina hingga melukai dua nelayan dan lima orang lainnya ditangkap. Ruang bagi warga Palestina di Gaza untuk mencari mata pencaharian di laut atau pun di daratan sekarang semakin sempit.
Gaza Tak Rugikan Mesir
Rakyat Palestina di Gaza merasa berada di bawah tekanan. Seorang mahasiswa di Gaza, Asem Alnabej menulis di dalam akun Twitter-nya, “Pada masa pemerintahan Mubarak, ‘israel’ mengumumkan perang di Gaza dari jantung kota Kairo. Tapi sekarang ‘israel’ tidak perlu lagi membawa perang baru. Militer Mesir sudah melakukannya.”
Alnabeh mengacu pada ancaman kekerasan yang dilontarkan menteri luar negeri ‘israel’, Tzipi Livni saat berkunjung ke Kairo beberapa hari sebelum ‘israel’ menyerang Gaza pada Desember 2008-Januari 2009 hingga menewaskan 1.400 orang.
“Gaza tidak pernah sehari pun merugikan Mesir,” ujar Alnabeh. Ia menambahkan, “Kami rela mati untuk kepentingan kalian. Kami mendukung revolusi kalian dan tidak pernah menembaki kalian. Sekarang, kenapa kalian bekerja sama dengan penjajah ‘israel’ untuk melawan Gaza?”* (MR/ Electronic Intifada | Sahabat Al-Aqsha)
Tidak ada komentar: